Pemerintah dan DPR Sepakat Pencegahan Kekerasan Seksual Dilakukan di Satuan Pendidikan, Tempat Karantina, dan dalam Situasi Bencana
REDAKSIBALI.COM -Pemerintah Republik Indonesia (RI) berkomitmen untuk memperkuat sistem pencegahan kekerasan seksual dengan menambah kementerian agama dan kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi dalam koordinasi pencegahan, penanganan, dan pemantauan kekerasan seksual. Hal ini menjadi perhatian kuat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang perlu segera ditanganinya kekerasan seksual di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan yang harus diakomodasi oleh Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS, Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI sepakat adanya pengaturan tentang pencegahan di satuan pendidikan, panti sosial, tempat-tempat pengungsian, shelter atau karantian bagi calon pekerja migran, dan tempat serta keadaan khusus, seperti bencana dan situasi konflik yang rawan terjadi kekerasan seksual. Perihal ini telah diatur di dalam pasal tersendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ditetapkan sebagai koordinator penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan tenaga layanan dalam mencegah dan menanganani kasus kekerasan seksual.
“Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah disebutkan pendidikan dan pelatihan dilakukan bukan hanya terkait pencegahan, tetapi juga penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelatihan ini kita nyatakan akan dikoordinasikan oleh kementerian yang menangani atau menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM. Selain itu, KemenPPPA juga siap turut serta dalam mengkoordinasikan hal tersebut,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta, Sabtu (4/2).
Melalui Rapat Panitia Kerja RUU TPKS itu pula, Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI telah bersepakat pemantauan akan dilaksanakan oleh Menteri dan lembaga nasional, seperti komisi nasional HAM, komisi perlindungan anak, komisi nasional disabilitas, dan komisi nasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini penting agar pemantauan terhadap implementasi UU ini, khususnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menjadi semakin berkualitas. Terlebih, berbagai lembaga tersebut telah dikenal kerja-kerjanya di dalam memantau pelaksanaan perlindungan HAM.
Namun demikian, Wakil Menkumham, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy mengatakan, fungsi koordinasi tetap melekat pada KemenPPPA, sehingga secara lengkapnya pemantauan akan dilakukan secara bersama-sama. “Dalam hal ini, kita juga tidak bisa menafikan pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Dengan demikian, kerja pemantauan adalah kerja bersama antara Pemerintah, lembaga resmi, dan masyarakat sipil,” jelas Eddy.
Sementara itu, dalam hal pencegahan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pencegahan TPKS secara cepat, terpadu, dan terintegrasi melalui bidang pendidikan; sarana dan prasarana; pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; ekonomi dan ketenagakerjaan; kesejahteraan sosial; budaya; teknologi informasi; keagaamaan; dan keluarga. Salah satu wujud konkretnya adalah mencantumkan materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan.
Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI telah rampung membahas DIM RUU TPKS yang bersifat substansi dan substansi baru dalam Rapat Panitia Kerja pada Sabtu (2/4). Selain bersepakat terkait pencegahan, koordinasi, dan pemantauan, rapat tersebut juga menyelesaikan pembahasan mengenai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), peran serta masyarakat dan keluarga, pendanaan, kerjasama internasional, hingga ketentuan peralihan. Rapat RUU TPKS akan dilanjutkan pada Senin (4/4) dengan fokus pembahasan terkait kekerasan seksual berbasis elektronik dan eksploitasi seksual.