Ekonomi Bali

Analisis Isu Terkini Sosial Ekonomi Pertanian Provinsi Bali 2025: Integrasi Agrowisata sebagai Solusi Inovatif Penguatan Pertanian

REDAKSIBALI.COM – Pada tanggal 19 Desember 2025  Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis katagol Analisis Isu Terkini Sosial Ekonomi Pertanian Provinsi Bali 2025.

Pubikasi yang memuat gambaran sosial ekonomi pertanian di Provinsi Bali berdasarkan hasil Survei Ekonomi Pertanian (SEP) yang dilaksanakan pada tahun 2024 lalu. Terdapat tiga pembahasan terkait ekonomi pertanian yang diangkat dalam publikasi ini. Pertama, pembahasan mengenai produksi dan keuntungan pelaku usaha pertanian perorangan di Provinsi Bali. Kedua, membahas terkait persepsi para pelaku pertanian mengenai pertanian yang menguntungkan. Dan yang ketiga, mengulik lebih dalam mengenai integrasi pertanian dan pariwisata melalui konsep agrowisata dari hasil kajian kualitatif berupa indepth study.

Berikut Kesimpulan  Pembahasan   Integrasi Agrowisata sebagai Solusi Inovatif Penguatan Pertanian Bali

“Agrowisata di Bali lahir sebagai inovasi yang menyatukan subak, lanskap agraris, dan kreativitas pariwisata menjadi satu ekosistem yang mampu menjaga lahan, menghidupkan ekonomi desa, dan merawat kearifan lokal sekaligus”.

Integrasi agrowisata di Bali merefleksikan pergeseran strategi pembangunan pertanian dari sekadar peningkatan produksi menuju pengelolaan lanskap agraris sebagai basis pengalaman, pengetahuan, dan identitas budaya yang dijual ke pasar pariwisata. Praktik yang ditemui di SGV, The Sila, Alas Arum, dan Kumulilir menunjukkan bahwa sawah, kebun hortikultura, dan kebun kopi tidak lagi diposisikan hanya sebagai “lahan produksi”, melainkan sebagai ruang multi-fungsi: sumber bahan baku, media edukasi, wahana rekreasi, sekaligus etalase nilai-nilai subak, kearifan lokal, dan praktik pertanian ramah lingkungan.

Dalam kerangka ini, agrowisata berfungsi sebagai mekanisme revitalisasi pertanian Bali yaitu mengangkat kembali citra bertani sebagai aktivitas yang modern, kreatif, dan menguntungkan sekaligus merespons tekanan struktural seperti alih fungsi lahan, pelemahan regenerasi petani, dan dominasi pariwisata massal yang sering abai terhadap basis pangan dan ekologi pedesaan.

Dari kacamata statistik, dinamika tersebut menempatkan agrowisata sebagai salah satu poros potensial ekonomi hijau yang menjembatani tiga dimensi utama: kesejahteraan, keberlanjutan ekologis, dan pelestarian budaya. Namun, potensi ini tidak bersifat otomatis dan sangat bergantung pada kualitas desain kebijakan dan tata kelola. Wawancara dengan para pelaku usaha menunjukkan bahwa tanpa penyederhanaan regulasi, peningkatan kapasitas SDM yang menguasai pertanian sekaligus pariwisata, penguatan kemitraan yang adil antara usaha dan petani, serta perlindungan yang tegas terhadap lahan produktif dan sistem subak,

Agrowisata berisiko terjebak menjadi “wisata pemandangan” yang justru mempercepat komersialisasi ruang pedesaan tanpa menguatkan fondasi pertaniannya. Dengan demikian, integrasi Agrowisata di Bali perlu terus dibaca secara kritis: bukan hanya sebagai keberhasilan penciptaan destinasi baru, tetapi sebagai indikator seberapa jauh transformasi ini mampu menjaga posisi pertanian sebagai pilar kedaulatan pangan, sumber penghidupan yang layak, dan penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan budaya dalam lanskap ekonomi Bali yang kian tertaut pada pasar global. (*GR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *