14 Februari, Voyager Memotret Kecilnya Bumi di Alam Semesta
REDAKSIBALI.COM -14 Februari 1990, 3,7 miliar mil jauhnya dari matahari, pesawat ruang angkasa Voyager 1 mengambil foto Bumi. Gambar tersebut, yang dikenal sebagai Titik Biru Pucat, menggambarkan planet bumi kita sebagai titik yang hampir tak terlihat.
Diluncurkan pada 5 September 1977, Voyagers 1 dan 2 ditugasi menjelajahi bagian luar tata surya kita. Ia melewati Jupiter pada Maret 1979 dan Saturnus pada tahun berikutnya. Jarak antara planet-planet luar begitu besar sehingga butuh satu dekade lagi sebelum ia melewati Neptunus dan tiba di tempat di mana ia mengambil serangkaian gambar planet, yang dikenal sebagai ‘Potret Keluarga’ tata surya kita.
Perjalanan Voyager 1 berlanjut. Pada tahun 1998, ia menjadi benda buatan manusia terjauh di luar angkasa, dan pada tanggal 25 Agustus 2012, ia meninggalkan jangkauan terjauh medan magnet matahari dan angin matahari, menjadi benda buatan manusia pertama di ruang antar bintang.
Wahana luar angkasa ini, tetap dalam perjalanan dengan kecepatan 64000 km/jam merupakan benda buatan manusia terjauh dari Bumi dan yang pertama meninggalkan Tata Surya.
Misinya telah diperpanjang dan berlanjut sampai hari ini, dengan tujuan untuk menyelidiki Tepi Tata Surya, termasuk sabuk Kuiper, heliosfer dan ruang antar bintang. Beroperasi sejak 43 tahun, 5 bulan dan 7 hari hingga hari ini (14 Februari 2021), ia menerima perintah rutin dan mentransmisikan data kembali ke Deep Space Network.
Terkait foto bumi berupa ‘Titik Biru Pucat’, kita bisa mengambil hikmah dari apa yang disampaikan astronom Carl Sagan dalam pidatonya di Universitas Cornell tanggal 13 Okteober 1994.
Pidato Carl Sagan di Universitas Cornell, 13 Oktober 1994
Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Namun bagi kita, lain lagi ceritanya. Tataplah lagi titik itu. Titik itulah yang dinamai ‘di sini.’ Itulah rumah. Itulah kita. Di satu titik itu semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka. Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan perambah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan pemusnah peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan penjelajah, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi busuk, setiap “bintang pujaan”, setiap “pemimpin besar”, setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah spesies manusia hidup di sana, di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.
Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya arena kosmik. Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan maharaja sehingga dalam keagungan dan kejayaan itu mereka dapat menjadi penguasa sementara di sebagian kecil dari titik itu. Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain, betapa sering mereka salah paham, betapa siap mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa bergejolak kebencian mereka. Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.
Bumi adalah satu-satunya dunia, sejauh ini, yang diketahui memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain, setidaknya sampai beberapa waktu ke depan, yang bisa dijadikan tempat tinggal. Ada yang bisa kita kunjungi, tetapi belum ada yang bisa kita tinggali. Suka atau tidak, untuk saat ini, Bumi adalah satu-satunya tempat kita hidup. Sering dikatakan bahwa astronomi adalah sebuah pengalaman yang menumbuhkan kerendahan hati dan membangun kepribadian. Mungkin tak ada yang dapat menunjukkan laknatnya kesombongan manusia secara lebih baik selain citra dunia kita yang mungil ini. Bagiku, gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenal selama ini.