Rusia Deklarasikan Amerika Serikat sebagai Musuh: Implikasi dan Konsekuensinya
RedaksiBali.com – Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat semakin memanas. Baru-baru ini, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, secara resmi menyebut Amerika Serikat sebagai “musuh” dalam sebuah konferensi pers. Pernyataan ini menandai puncak dari ketegangan yang sudah lama terjadi terkait konflik di Ukraina. Dalam konferensi tersebut, Peskov mengatakan, “Kita sekarang adalah negara musuh bagi mereka, sama seperti mereka bagi kita,” seperti dikutip dari TRT World pada Minggu, 9 Juni 2024.
Latar Belakang Ketegangan
Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, terutama seiring dengan dukungan militer AS kepada Ukraina. Penggunaan senjata yang dipasok oleh Amerika di wilayah Rusia menambah intensitas konflik, membuat Kremlin sebelumnya menyebut AS dan negara-negara Barat yang mendukung Ukraina sebagai “negara yang tidak bersahabat” atau “lawan.”
Komentar Terbaru dari Peskov
Peskov menyatakan bahwa tindakan baru-baru ini, seperti pelarangan masuknya mantan perwira intelijen Amerika Scott Ritter ke St. Petersburg, adalah upaya untuk mencegah keterlibatan AS lebih lanjut dengan Rusia. Namun, Peskov menekankan bahwa tindakan tersebut harus dibenarkan jika terkait langsung dengan aktivitas intelijen Ritter. Jika tidak, hal ini hanya akan dianggap sebagai upaya bersama untuk mengisolasi Rusia.
Menurut Agentstvo, sebuah situs investigasi independen Rusia, ini adalah pertama kalinya Rusia secara terbuka menyebut AS sebagai negara "musuh." Meski begitu, para ahli yang diwawancarai oleh TRT World berpendapat bahwa sikap ini bukanlah hal baru, mengingat Amerika Serikat sudah lama dianggap sebagai musuh oleh Rusia.
Pandangan Ahli dan Doktrin Keamanan Rusia
Matthew Bryza, mantan diplomat AS dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Azerbaijan, mengatakan bahwa doktrin keamanan nasional dan militer Rusia pada tahun 2014 dan 2022 telah mengidentifikasi Amerika Serikat sebagai musuh utama Rusia. Menurutnya, tujuan utama Rusia adalah untuk menabur perpecahan dalam aliansi NATO, menjauhkan anggotanya dari satu sama lain, dan terutama dari Amerika Serikat.
Ali Fuat Gokce dari Universitas Gaziantep menyatakan bahwa upaya infiltrasi AS ke daratan Rusia, seringkali melalui NATO, dianggap sebagai ancaman oleh Rusia. Ia menjelaskan bahwa meskipun NATO didirikan sebagai organisasi pertahanan, NATO telah menjadi alat bagi kebijakan ekspansionis AS yang menimbulkan ancaman bagi negara-negara non-NATO seperti Rusia dan China.
Perang Proksi dan Strategi Jangka Panjang
Gokce juga menyarankan agar AS dan Rusia tidak terlibat langsung dalam konflik bersenjata dengan angkatan bersenjata mereka sendiri. Ia menyebutkan bahwa setiap konflik antara AS dan Rusia kemungkinan besar akan dilakukan melalui negara atau organisasi proksi. Secara historis, AS selalu menggunakan kekuatan proksi untuk melawan Rusia, sementara Rusia mendukung kelompok-kelompok yang berperang melawan imperialisme AS. Ketergantungan pada kekuatan proksi ini diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan.
Menurut Gokce, meskipun NATO dimanfaatkan, selalu ada kekuatan yang siap berperang. "Mengingat bahwa AS bertujuan untuk melemahkan Rusia dan China, konflik yang berkepanjangan dapat diperkirakan akan menjadi perang yang menguras tenaga."
Deklarasi Rusia yang secara resmi menyebut Amerika Serikat sebagai musuh menandai titik terendah baru dalam hubungan bilateral kedua negara. Tindakan dan retorika ini menunjukkan eskalasi yang signifikan dalam konflik geopolitik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dengan adanya strategi jangka panjang yang melibatkan perang proksi dan ketegangan yang terus meningkat, dunia internasional harus bersiap menghadapi konsekuensi dari konflik yang berpotensi semakin rumit dan berbahaya ini.