Fenomena Ajakan “Frugal Living” untuk Memprotes Kenaikan PPN 12 Persen: Dampak dan Implikasinya
RedaksiBali.com – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan diberlakukan mulai Januari 2025, memicu gelombang protes di media sosial. Salah satu bentuk protes yang populer adalah ajakan menerapkan frugal living atau hidup hemat, yang bertujuan mengurangi konsumsi barang-barang yang terkena pajak. Ajakan ini tidak hanya menjadi perbincangan, tetapi juga memunculkan kekhawatiran mengenai dampak ekonomi lebih luas.
Apa Itu “Frugal Living” dan Mengapa Diterapkan sebagai Protes?
Frugal living, atau gaya hidup hemat, mendorong masyarakat untuk lebih selektif dalam pengeluaran mereka. Ajakan untuk memboikot konsumsi barang-barang tertentu, seperti ponsel, kendaraan, dan barang kebutuhan tersier lainnya, semakin ramai di media sosial seperti X (Twitter).
Sebagai contoh, salah satu warganet menulis:
Yang pengen ganti HP tahan, yang pengen ganti motor baru tahan. 1 tahun aja, jangan lupa pake semua subsidi, nggak usah gengsi dibilang miskin, itu dari duit kita juga kok.”
Ajakan ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi konsumsi, tetapi juga sebagai bentuk kritik langsung terhadap kebijakan kenaikan tarif pajak yang dianggap memberatkan masyarakat.
baca juga:
Dampak Kenaikan PPN 12 Persen terhadap Masyarakat
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan berdampak signifikan pada pola konsumsi masyarakat:
- Penurunan Konsumsi Rumah Tangga, Kenaikan pajak ini mendorong masyarakat untuk lebih berhemat atau mencari barang pengganti yang lebih murah. Hal ini akan menyebabkan penurunan daya beli dan mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu motor penggerak ekonomi.
- Peningkatan Barang Ilegal, Tarif pajak yang tinggi memicu lonjakan peredaran barang-barang ilegal yang tidak dikenakan pajak, sehingga justru mengurangi penerimaan negara.
- Pertumbuhan Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy), Aksi belanja di warung kecil atau pasar tradisional, yang banyak dianjurkan dalam gerakan ini, juga berpotensi memperbesar underground economy—sektor ekonomi yang sulit dipajaki.
- Dampak bagi Ritel Modern, Berkurangnya konsumsi di sektor ritel modern dapat berdampak buruk pada perusahaan-perusahaan besar, yang merupakan penyerap tenaga kerja signifikan di sektor perdagangan.
Saran Alternatif untuk Pemerintah
Bhima menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif kebijakan guna meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat secara langsung. Beberapa saran yang diusulkan antara lain:
- Penerapan Pajak Kekayaan (Wealth Tax): Pajak ini dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp 81,6 triliun.
- Pajak Produksi Batu Bara dan Pajak Karbon: Langkah ini dinilai lebih efektif dan adil dibandingkan menaikkan PPN.
- Penghapusan Insentif Pajak Tidak Tepat Sasaran: Misalnya, insentif tax holiday dan tax allowance, yang bertentangan dengan prinsip Global Minimum Tax dan dinilai tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Konsekuensi Jangka Panjang Kenaikan PPN
Tujuan pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen adalah untuk meningkatkan rasio pajak hingga 23 persen pada tahun 2029. Namun, langkah ini membawa konsekuensi berat, seperti:
- Mengubah pola konsumsi masyarakat secara signifikan.
- Memukul sektor ekonomi formal.
- Membuka peluang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi informal yang sulit dipajaki.
Jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat, kenaikan PPN justru dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menimbulkan resistensi sosial yang lebih luas.