EkonomiInternasional

Taman Okobu Tokyo Jadi Ibu Kota Seks Asia, Cerminan Krisis Ekonomi Jepang

RedaksiBali.com – Kota Tokyo, yang pernah menjadi simbol kemakmuran ekonomi Jepang, kini menghadapi kenyataan pahit. Di tengah lemahnya nilai yen dan meningkatnya kemiskinan, ibu kota Jepang ini disebut-sebut sebagai “Ibu Kota Seks Asia.” Perubahan ini menjadi cerminan nyata dari kemunduran ekonomi Negeri Sakura, sekaligus membuka sisi gelap dari pariwisata internasional.

Transformasi Tokyo: Dari Kemakmuran ke Kemiskinan

Pada masa kejayaan ekonominya, Jepang dikenal sebagai salah satu negara maju dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Namun, situasi berbalik dalam beberapa dekade terakhir. Sekarang, alih-alih para pria Jepang bepergian ke luar negeri untuk mencari hiburan, Tokyo justru menjadi destinasi utama bagi para lelaki asing yang ingin menikmati wisata seks murah.

Yoshihide Tanaka, sekretaris jenderal Dewan Penghubung Pelindung Pemuda (Seiboren), menyebut Jepang kini menjadi “negara miskin.” Fenomena ini terlihat jelas di taman-taman kota Tokyo, yang telah menjadi tempat perdagangan seks tak teratur, terutama di distrik Kabukicho, Shinjuku.

baca juga:

Kampanye “Banyak Anak”, India Jadi Negara Berpenduduk Terbanyak di Dunia

Tax Amnesty Berulang: Krisis Kepercayaan Warga RI terhadap Kebijakan Pajak

Putin Teken Doktrin Nuklir Baru: Rusia Siap Gunakan Senjata Nuklir untuk Lindungi Kedaulatan

Fenomena Ajakan “Frugal Living” untuk Memprotes Kenaikan PPN 12 Persen: Dampak dan Implikasinya

Taman Okubo: Pusat Perdagangan Seks Jalanan

Taman Okubo, salah satu tempat di Kabukicho, kini terkenal sebagai pusat prostitusi jalanan. Setiap malam, sekitar 30 wanita muda terlihat berdiri menunggu pelanggan. Pelanggan asing, termasuk pria dari China, Eropa, hingga Afrika, sering berkumpul di taman ini, beberapa bahkan membawa kamera untuk merekam aktivitas atau menyiarkannya secara langsung di media sosial.

"Di Kabukicho, siapa pun wanita yang berjalan-jalan dapat didekati untuk direkrut ke aktivitas seksual," ungkap Kazuna Kanajiri, perwakilan dari organisasi nirlaba Paps yang membantu korban kekerasan seksual.

Harga untuk layanan seksual bervariasi, mulai dari 15.000 hingga 20.000 yen (sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta) per sesi. Namun, banyak pekerja seks yang terpaksa menurunkan harga jika bisnis sedang sepi.

Dampak Sosial dan Hukum

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi reputasi Tokyo sebagai destinasi wisata, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait keselamatan pekerja seks. Banyak dari mereka menghadapi ancaman kekerasan fisik, pemerasan, hingga risiko penyakit menular seksual.

Miya, salah satu pekerja seks yang menggunakan nama samaran, berbagi cerita tentang temannya yang dipukuli oleh pelanggan asing karena dianggap tidak memberikan layanan yang memuaskan. Meski ada undang-undang anti-prostitusi, kekerasan semacam ini sering kali luput dari perhatian hukum.

Menurut Yuriko Ueki, kepala divisi hiburan dewasa di Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo (MPD), meskipun undang-undang tidak menghukum pembeli seks, pihaknya berkomitmen untuk menindak tegas kekerasan. “Kami ingin memastikan bahwa kekerasan tidak terjadi tanpa kendali,” ujarnya.

Reaksi Pemerintah dan Masyarakat

Masalah ini telah menarik perhatian Kazunori Yamanoi dari Partai Demokrat Konstitusional Jepang, yang mendesak adanya regulasi lebih ketat terhadap industri pekerja seks. "Ini bukan lagi sekadar masalah domestik. Ini masalah serius terkait bagaimana wanita Jepang dipersepsikan di komunitas internasional," tegasnya.

Namun, hingga kini, langkah konkret untuk menekan prostitusi jalanan dan melindungi para pekerja seks belum menunjukkan hasil signifikan.

Wisata Seks dan Media Sosial

Media sosial turut memperburuk situasi ini. Video yang diunggah di TikTok, Instagram, hingga Xiaohongshu, menggambarkan Taman Okubo sebagai destinasi wisata seks. Beberapa unggahan bahkan mengundang turis asing untuk datang ke Tokyo demi "pengalaman unik."

Situasi ini menambah tekanan pada pemerintah Jepang untuk menjaga citra internasional negara mereka, sekaligus melindungi warganya dari eksploitasi.

Tantangan untuk Jepang

Tokyo, yang pernah menjadi simbol modernisasi dan kemajuan Jepang, kini menghadapi tantangan besar. Transformasinya menjadi pusat wisata seks Asia mencerminkan masalah sosial, ekonomi, dan hukum yang kompleks. Pemerintah, organisasi masyarakat, dan komunitas internasional harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini agar tidak semakin memburuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *