Tax Amnesty Berulang: Krisis Kepercayaan Warga RI terhadap Kebijakan Pajak
RedaksiBali.com – Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) kembali menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, khususnya para ekonom. Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak yang diusulkan DPR menjadi sorotan karena dianggap dapat menurunkan kepatuhan pajak masyarakat, terutama di kalangan orang kaya dan korporasi besar.
Langkah ini, yang memungkinkan tax amnesty jilid III berlangsung pada 2025, menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut justru menjadi blunder bagi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara.
Kritik Para Ekonom terhadap Tax Amnesty
- Moral Hazard di Kalangan Orang Kaya
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan bahwa tax amnesty yang dilakukan terlalu sering akan memunculkan moral hazard besar.
“Pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty jilid III, akan ada lagi jilid berikutnya. Akibatnya, kepatuhan mereka semakin rendah,” ujar Bhima.
Ia menilai, kebijakan ini memberikan sinyal buruk bahwa pemerintah cenderung mengampuni pelanggaran pajak tanpa memberikan sanksi tegas. Hal ini memunculkan persepsi bahwa menghindari pajak tidak akan membawa konsekuensi serius.
- Preseden Buruk bagi Sistem Pajak
Wahyu Widodo, ekonom Universitas Diponegoro, menambahkan bahwa pelaksanaan Pengampunan Pajak yang berulang menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem perpajakan.
“Jika pengampunan terus dilakukan, berarti sistem pajak tidak kredibel. Pengemplang pajak seharusnya diproses hukum, bukan diberi pengampunan secara periodik,” tegas Wahyu.
Menurutnya, tujuan Pengampunan Pajak adalah meningkatkan kepatuhan melalui satu kali mekanisme pengampunan, bukan menjadi kebijakan rutin.
baca juga:
DPR Dorong Tax Amnesty Jilid III
Meski menuai kritik, DPR RI telah menyetujui revisi UU Tax Amnesty untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Hal ini membuka peluang besar bagi pemerintah untuk melaksanakan program Pengampunan Pajak jilid III pada tahun tersebut.
Langkah ini menimbulkan perdebatan luas, mengingat pemerintah sebelumnya telah melaksanakan Pengampunan Pajak pada 2016-2017 dan 2022. Jika rencana ini berjalan, Indonesia akan mencatat sejarah sebagai negara yang melaksanakan tax amnesty hingga tiga kali dalam waktu kurang dari satu dekade.
Mengapa Tax Amnesty Menjadi Kontroversial?
- Penerimaan Pajak Jangka Pendek vs. Kepatuhan Jangka Panjang
Pengampunan Pajak sering dianggap sebagai cara cepat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun, efektivitasnya dalam mendorong kepatuhan jangka panjang masih dipertanyakan. - Kepercayaan Publik Terhadap Sistem Pajak
Repetisi Pengampunan Pajak menunjukkan ketidakmampuan sistem perpajakan untuk mendeteksi dan menghukum pengemplang pajak secara efektif. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi pajak cenderung menurun. - Keuntungan Tidak Merata
Kebijakan ini dinilai lebih menguntungkan orang kaya dan korporasi besar yang memiliki sumber daya untuk menghindari pajak, sementara masyarakat umum tetap membayar pajak secara rutin.
Apa Alternatifnya?
Para ekonom menyarankan pemerintah untuk:
- Memperbaiki sistem pengawasan pajak melalui teknologi canggih dan basis data terintegrasi.
- Memberikan sanksi tegas kepada pengemplang pajak untuk menciptakan efek jera.
- Melakukan reformasi sistem pajak yang lebih adil dan transparan.
Kesimpulan: Krisis Kepercayaan yang Harus Diatasi
Tax amnesty jilid III yang direncanakan untuk 2025 berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan lebih dalam terhadap sistem perpajakan di Indonesia. Kebijakan ini, meskipun memberikan keuntungan jangka pendek dalam penerimaan pajak, dapat merusak upaya jangka panjang untuk menciptakan budaya kepatuhan pajak yang sehat.
Dengan memperbaiki kelemahan sistem dan menegakkan hukum secara konsisten, pemerintah dapat menunjukkan komitmen untuk menciptakan sistem perpajakan yang kredibel dan berkeadilan.