Analisis KeuanganBerita EkonomiEkonomiKeuanganPajak

Sri Mulyani Tertipu Janji Manis Anak Buahnya: Coretax Gagal Total!

RedaksiBali.com – Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, aplikasi pajak berbasis digital Coretax yang telah menghabiskan investasi sebesar Rp1,3 triliun telah menimbulkan berbagai masalah. Padahal, aplikasi yang diharapkan bisa menyederhanakan proses perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak ini seharusnya menjadi terobosan penting dalam reformasi sistem perpajakan di Indonesia. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Berbagai kendala teknis dan masalah dalam pengimplementasiannya membuat aplikasi ini belum berfungsi optimal.

1. Proyek Ambisius yang Tak Sesuai Harapan

Sebagai bagian dari upaya untuk memperbarui dan menyempurnakan sistem administrasi pajak, Coretax adalah proyek besar yang melibatkan dana yang sangat besar. Dengan nilai investasi mencapai Rp1,3 triliun, proyek ini tentu saja menjadi salah satu proyek teknologi informasi terbesar di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Aplikasi ini melibatkan kerja sama antara beberapa perusahaan global besar, seperti PricewaterhouseCoopers (PwC), LG CNS-Qualysoft (anak usaha LG asal Korea Selatan), dan PT Deloitte Consulting.

Namun, meskipun proyek ini memanfaatkan nama besar dari perusahaan-perusahaan global, hasil yang didapatkan justru jauh dari harapan. Banyak pihak yang mempertanyakan kinerja proyek ini, terutama karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu yang seharusnya menjadi pihak yang paling berperan aktif dalam proyek ini ternyata hanya terlibat sedikit. Bahkan, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dilaporkan sering mendapatkan informasi yang terlalu positif (disebut “ABS” atau Asal Bos Senang) tentang perkembangan aplikasi ini dari bawahannya.

baca juga:

DJP Minta Maaf! Kenapa Fitur Coretax Bikin Ribet Wajib Pajak?

Kontroversi Kenaikan PPN 12%: Sorotan Sikap Berubah PDIP dan Respons NasDem

PPN 12 Persen untuk Barang Mewah: Peluang atau Beban Ekonomi?

Menggagas Pajak Berkeadilan: Batalkan Kenaikan PPN dan Tax Amnesty, Fokus pada Pajak Kekayaan dan Pajak Karbon

2. Terlambat, Tapi Tak Teruji

Awalnya, Coretax direncanakan untuk diluncurkan pada Agustus 2024, namun, peluncurannya terpaksa ditunda hingga Oktober 2024 dan akhirnya baru diluncurkan pada 1 Januari 2025. Bukan hanya terlambat, aplikasi ini juga tidak melalui tahap uji coba atau piloting yang maksimal. Proses yang dilakukan hanya sebatas uji kesiapan di wilayah tertentu, tanpa ada pengujian yang lebih luas dan menyeluruh.

Iwan Djuniardi, Staf Ahli Menkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek Coretax, menjelaskan bahwa meskipun implementasi aplikasi ini sempat ditunda beberapa kali, pihaknya yakin dalam tiga bulan ke depan, aplikasi Coretax akan berfungsi dengan sempurna. Namun, kenyataannya, aplikasi ini masih memiliki banyak bug dan kendala teknis yang belum teratasi.

3. Masalah yang Dihadapi Pengguna

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi pengguna adalah ketidakmampuan aplikasi untuk memberikan backup system ketika terjadi masalah teknis. Sebelumnya, DJP Online, aplikasi pajak lama yang digunakan, telah dihentikan. Hal ini membuat wajib pajak tidak memiliki alternatif lain ketika aplikasi Coretax tidak berfungsi dengan baik.

Bahkan, beberapa laporan dari pengguna menyebutkan bahwa mereka tidak bisa mengakses data pajak mereka dengan lancar dan mengalami berbagai gangguan teknis yang mempengaruhi pengalaman mereka dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Terlebih lagi, banyak wajib pajak yang merasa tidak ada komunikasi yang jelas atau dukungan yang memadai ketika mereka menghadapi masalah di aplikasi ini.

4. Investasi yang Terlalu Mahal?

Banyak pihak yang mempertanyakan apakah investasi sebesar Rp1,3 triliun untuk aplikasi pajak ini terlalu mahal. Iwan Djuniardi membantah anggapan tersebut dan mengungkapkan bahwa Coretax dirancang dengan teknologi tinggi dan melibatkan banyak pihak internasional. Bahkan, negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Finlandia pun memiliki aplikasi pajak serupa yang memerlukan investasi lebih besar.

Menurutnya, proses pembangunan aplikasi Coretax memang memakan waktu cukup lama, sekitar 4 tahun, sehingga dana yang digelontorkan tidak langsung digunakan dalam satu tahun anggaran saja. Hal ini menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan sangat bergantung pada proses pengembangan jangka panjang yang melibatkan banyak pihak.

5. Mengapa Sri Mulyani Dapat Tertipu?

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani tentu memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan proyek ini. Namun, ia ternyata terjebak dalam laporan-laporan positif dari anak buahnya yang tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Laporan-laporan tersebut lebih berfokus pada menyenangkan hati atasannya ketimbang memberikan gambaran objektif tentang perkembangan aplikasi yang sebenarnya.

Sri Mulyani dikenal sebagai figur yang tegas dan cermat dalam mengambil keputusan. Namun, dalam kasus Coretax ini, dia seakan terjebak dalam "tunnel vision" atau pandangan sempit karena terlalu mempercayai laporan dari bawahannya. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama para pengamat pajak dan ekonomi, yang khawatir kejadian serupa akan terjadi lagi pada proyek besar lainnya.

6. Harapan ke Depan

Meski menghadapi banyak kendala, Iwan Djuniardi tetap optimis bahwa dalam beberapa bulan ke depan, aplikasi Coretax akan berfungsi dengan baik dan memberikan dampak positif bagi sistem perpajakan Indonesia. Di sisi lain, banyak yang berharap agar Kementerian Keuangan lebih transparan dalam menangani masalah ini dan memberikan solusi yang lebih cepat bagi wajib pajak yang terdampak.

Dalam jangka panjang, aplikasi pajak yang canggih dan efisien seperti Coretax sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, sistem dan aplikasi yang digunakan harus benar-benar dapat diandalkan dan tidak menambah beban bagi wajib pajak.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *