EkonomiPajak

PPN 12 Persen untuk Barang Mewah: Peluang atau Beban Ekonomi?

PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah: Solusi Bijak atau Beban Tambahan?

RedaksiBali.com – Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 % yang hanya dikenakan pada barang mewah telah menuai berbagai tanggapan. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Hanif Dhakiri, menyebut langkah ini bijak mengingat kondisi ekonomi saat ini, namun kurang optimal dalam mendongkrak penerimaan negara. “Pendapatan negara hanya bertambah sekitar Rp 2 triliun. Secara matematika, itu tidak cukup worth it,” ujar Hanif di Jakarta, Sabtu (14/12/2024).

Kritik dan Usulan Perluasan Barang Kena Pajak

Hanif, politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa, mengusulkan agar pemerintah memperluas cakupan barang yang dianggap mewah untuk meningkatkan efektivitas kebijakan. “Definisi teknis tentang barang mewah perlu diperluas agar penerimaan negara bisa lebih dari Rp 2 triliun,” tambahnya. Ia juga mengusulkan pendekatan pajak yang lebih adil melalui profiling pajak, sehingga masyarakat berpenghasilan tinggi dikenakan tarif yang lebih besar.

Selain itu, Hanif menilai potensi besar dari pajak karbon yang belum dioptimalkan. “Pasar karbon kita masih belum berjalan dengan baik, padahal ini bisa menjadi sumber penerimaan negara sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan,” katanya.

baca juga:

Kratom: Daun ‘Surga’ Indonesia yang Jadi Komoditas Ekspor Bernilai Miliaran yang Populer di Amerika Serikat

Menggagas Pajak Berkeadilan: Batalkan Kenaikan PPN dan Tax Amnesty, Fokus pada Pajak Kekayaan dan Pajak Karbon

Kenaikan PPN 12 Persen: Kelas Menengah Terhimpit dari Segala Penjuru, Apa Solusinya?

Tax Amnesty Berulang: Krisis Kepercayaan Warga RI terhadap Kebijakan Pajak

PPN 12 Persen: Kebijakan yang Disepakati

Penerapan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah telah disepakati antara pemerintah dan DPR. Kebijakan ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025 sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa bahan pokok tetap bebas dari PPN 12 persen untuk melindungi daya beli masyarakat kecil.

Respon Publik dan Tantangan

Namun, kebijakan ini memicu keresahan di masyarakat. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak, termasuk PPN 12 persen dan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dinilai menambah beban ekonomi di tengah perayaan akhir tahun. Opsen pajak ini akan mulai diberlakukan pada 5 Januari 2025 berdasarkan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Alternatif Kebijakan untuk Peningkatan Penerimaan

Sebagai solusi alternatif, pemerintah diharapkan mengkaji ulang definisi barang mewah dan menerapkan pajak tambahan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi. Pengembangan pasar karbon juga menjadi opsi strategis untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendukung agenda hijau nasional.

Kebijakan PPN 12 persen untuk barang mewah merupakan langkah bijak untuk menjaga daya beli masyarakat kecil. Namun, efektivitasnya untuk meningkatkan penerimaan negara masih menjadi tantangan. Dengan berbagai usulan, seperti memperluas cakupan barang kena pajak dan optimalisasi pasar karbon, diharapkan kebijakan ini dapat memberikan dampak yang lebih signifikan bagi perekonomian nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *