Siaga PD 3 di Tahun 2025: Ketegangan Geopolitik, Ramalan Ahli, dan Potensi Konflik Global
RedaksiBali.com – Potensi Ketegangan Geopolitik kembali menjadi perhatian utama dunia. Para ahli dan pengamat politik internasional memperingatkan bahwa tahun 2025 dapat menjadi titik kritis dalam sejarah, dengan kemungkinan terjadinya Perang Dunia Ketiga (PD 3). Faktor-faktor seperti ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin, ketegangan antara Rusia dan NATO, serta kebijakan geopolitik Amerika Serikat menjadi pendorong utama ketidakstabilan global ini.
Ramalan Para Ahli Tentang PD 3 di Tahun 2025
Menurut Profesor Anthony Glees dari Universitas Buckingham, ambisi Putin untuk memperluas pengaruh Rusia menjadi ancaman nyata bagi tatanan dunia. Glees menyoroti bahwa Putin memiliki rencana strategis jangka panjang untuk melemahkan negara-negara NATO pasca-1997 seperti Polandia, Finlandia, dan negara-negara Baltik.
“Jika kita tidak bertindak tegas, Putin akan terus melemahkan Ukraina dan akhirnya memperluas jangkauannya ke seluruh Eropa,” ujar Glees dalam wawancaranya dengan Economic Times.
Sementara itu, Profesor John Strawson dari University of East London menambahkan bahwa penurunan kerja sama internasional dan meningkatnya persaingan kekuatan besar menjadi tantangan terbesar sejak Perang Dunia II. “Tahun 2025 mungkin menandai dimulainya era baru konflik global,” kata Strawson.
Peran Amerika Serikat dan Donald Trump
Kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan pada tahun 2025 menambah lapisan baru pada situasi geopolitik yang sudah rumit. Trump berjanji untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina dengan kesepakatan damai yang mencakup pembekuan garis depan, zona penyangga, dan penundaan keanggotaan Ukraina di NATO selama 20 tahun.
Namun, para ahli skeptis. Profesor Glees menilai bahwa usulan Trump dapat memberikan sinyal kelemahan kepada Rusia dan memperkuat ambisi Putin untuk mengambil langkah lebih agresif.
baca juga:
Ketegangan Rusia-NATO: Ancaman Global yang Membayangi
Ketegangan antara Rusia dan NATO terus meningkat, terutama setelah NATO memperluas pengaruhnya ke negara-negara Eropa Timur. Rusia telah mengeluarkan ancaman terhadap negara-negara NATO, termasuk ancaman penggunaan senjata nuklir.
Menurut Sergey Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, perdamaian hanya dapat dicapai melalui perjanjian yang mengatasi akar penyebab konflik, termasuk status wilayah yang kini berada di bawah kendali Rusia.
Sementara itu, tindakan provokatif Rusia seperti pelanggaran Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Alaska oleh pesawat-pesawat militer mereka menunjukkan bahwa ancaman ini tidak hanya terbatas pada Eropa, tetapi juga mencakup wilayah lain, termasuk Amerika Utara.
Provokasi Baru: Isu Wilayah Alaska
Tuntutan pengembalian Alaska oleh sekutu Putin, Vladimir Solovyov, menambah panas ketegangan. Alaska, yang dijual oleh Rusia ke AS pada tahun 1867, kini menjadi sorotan dalam retorika geopolitik Rusia.
"Semua wilayah yang pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia harus dikembalikan, termasuk Alaska," ujar Solovyov dalam sebuah video yang dipublikasikan baru-baru ini.
Meski pernyataan ini dianggap sebagai propaganda oleh banyak pihak, hal ini menunjukkan pola pikir Rusia yang berorientasi pada penguasaan wilayah lebih luas.
Implikasi Global dan Strategi Mitigasi
Para ahli sepakat bahwa ketegangan geopolitik ini memiliki dampak besar pada stabilitas global. Negara-negara Barat, khususnya anggota NATO, harus bersiap menghadapi potensi eskalasi konflik. Beberapa langkah yang disarankan meliputi:
- Penguatan Aliansi Militer: Negara-negara NATO harus meningkatkan kapasitas militernya untuk menghalangi ambisi Rusia.
- Diplomasi Intensif: Upaya diplomasi harus terus dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik berskala besar.
- Peningkatan Kerja Sama Internasional: Penting untuk memperkuat lembaga-lembaga internasional seperti PBB dalam menjaga perdamaian dan stabilitas global.
Menuju Tahun yang Penuh Ketidakpastian
Tahun 2025 membawa ancaman dan peluang sekaligus. Dunia berada di persimpangan yang menentukan masa depan geopolitik global. Apakah ketegangan ini akan memuncak menjadi konflik global, atau apakah diplomasi dan kerja sama internasional dapat mengatasi tantangan ini? Hanya waktu yang akan menjawab.