Dampak Penurunan Harga Nikel Terhadap Produsen Global
RedaksiBali.com – Penurunan harga nikel yang berkepanjangan telah memberikan dampak negatif bagi para produsen nikel global, terutama di Australia. Beberapa produsen telah memutuskan untuk menutup sementara tambang mereka, sementara yang lain sedang mengevaluasi ulang proyek mereka.
Salah satu produsen nikel, Wyloo Metals, mengumumkan bahwa mereka akan menutup sementara operasi tambang nikel di Kambalda, Australia pada akhir Mei 2024. Keputusan ini diambil sebagai akibat dari rendahnya harga nikel. Menariknya, pengumuman ini terjadi hanya enam bulan setelah Wyloo Metals mengakuisisi tambang tersebut senilai 760 juta dolar AS.
BHP, perusahaan pertambangan terkemuka, juga mengumumkan bahwa mereka sedang mengevaluasi ulang bisnis nikel mereka. Menurut laporan Reuters, BHP kemungkinan akan menunda proyek nikel senilai 1,2 miliar dolar AS di West Musgrave, Australia. BHP menyatakan bahwa mereka sedang mencari opsi untuk mengurangi dampak penurunan tajam harga nikel dan akan memberikan rincian lebih lanjut dalam laporan tengah tahun pada 20 Februari 2024.
First Quantum Minerals juga mengumumkan bahwa mereka akan memangkas jumlah pekerja dan produksi di tambang Ravensthorpe, Australia sebagai dampak dari penurunan harga nikel yang signifikan.
Pada tanggal 22 Januari 2024, harga nikel telah turun sebesar 44,64% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 15.799 dolar AS per ton. Penurunan ini disebabkan oleh melonjaknya suplai dari Indonesia, yang merupakan produsen terbesar nikel di dunia. International Nickel Study Group memproyeksikan bahwa surplus nikel di pasar global akan semakin bertambah dari 223.000 ton pada 2023 menjadi 239.000 ton pada 2024.
Analis di BloombergNEF, Allan Ray Restauro, mengatakan bahwa proyek nikel di Indonesia lebih fleksibel dalam menyerap dampak penurunan harga. Hal ini disebabkan oleh biaya tenaga kerja yang murah, harga energi yang rendah, serta ketersediaan bahan baku yang melimpah. Meskipun demikian, harga nikel diproyeksikan akan tetap tertekan. Citigroup memperkirakan harga nikel akan turun ke level 15.500 dolar AS per ton dalam tiga bulan ke depan. Sementara itu, ING Group memproyeksikan harga rata-rata nikel akan berada pada level 16.813 dolar AS per ton sepanjang tahun 2024.
Dalam kondisi nikel yang diperkirakan masih tertekan, profitabilitas perusahaan pertambangan nikel akan menjadi tantangan. Dalam situasi ini, perusahaan dengan operasional yang efisien dan struktur biaya rendah akan cenderung lebih tahan terhadap dampak negatif penurunan nikel. Salah satu faktor yang dapat membuat biaya produksi lebih rendah adalah wilayah operasional yang terintegrasi.
Per 9M23, berikut adalah rincian biaya produksi nikel RKEF dari beberapa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI):
- PT Vale Indonesia Tbk (INCO): 9.832 dolar AS per ton
- PT Aneka Tambang Tbk (ANTM): 14.000–15.000 dolar AS per ton
- PT Medco Energi Internasional Tbk (MBMA): 12.958–15.247 dolar AS per ton (all-in sustainable cost)*
- PT Vale Indonesia Tbk (NCKL): 10.196–10.646 dolar AS per ton
Jika tren pemangkasan produksi berlanjut di produsen nikel global lainnya, ini dapat mengurangi suplai dan mendukung nikel di masa depan.
Dalam kesimpulannya, penurunan harga nikel yang berkepanjangan telah memberikan dampak negatif bagi produsen nikel global, terutama di Australia. Produsen nikel perlu mengevaluasi strategi mereka untuk menghadapi tantangan ini. Di sisi lain, produsen nikel Indonesia memiliki keuntungan dengan biaya produksi yang lebih rendah dan fleksibilitas yang lebih baik dalam menyerap dampak penurunan nikel.