EkonomiNasional

Mengurai Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Menyengsarakan: Analisis Profesor Unpad

Redaksibali.com – Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi sorotan tajam. Meskipun pemerintah berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, kenyataannya tidak semua lapisan masyarakat menikmati manfaatnya. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad), Profesor Arief Anshory Yusuf, mengungkapkan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini justru mengarah pada kondisi yang menyengsarakan.

Pertumbuhan yang Tidak Inklusif

Dalam podcast di kanal YouTube Podcast SKS pada Minggu (17/11/2024), Profesor Arief menjelaskan bahwa selama periode 2002-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 5-6% dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama periode ini:

  • Kelas menengah bertambah sebanyak 42 juta orang.
  • Kelas aspirasi menengah bertambah 38 juta orang.
  • Kelompok miskin dan rentan miskin berkurang 34 juta orang.

Namun, dalam periode 2019-2024, situasinya berbalik. Terdapat penurunan kelas menengah sebesar 9,5 juta orang yang diiringi dengan peningkatan kelompok miskin dan rentan miskin sebanyak 12,7 juta orang.

“Yang membuat miris, kondisi ini terjadi ketika ekonomi tumbuh positif di kisaran 5%,” ungkap Arief.

baca juga:

Tax Amnesty Berulang: Krisis Kepercayaan Warga RI terhadap Kebijakan Pajak

Taman Okobu Tokyo Jadi Ibu Kota Seks Asia, Cerminan Krisis Ekonomi Jepang

Fenomena Ajakan “Frugal Living” untuk Memprotes Kenaikan PPN 12 Persen: Dampak dan Implikasinya

Kolaborasi Kementerian Koperasi dan UKM RI dengan UGM dalam Program Pendampingan UMKM di Bali, Dorong Usaha Mikro Maju dan Berdaya Saing

Fenomena Immiserizing Growth

Profesor Arief mencatat bahwa situasi ini mengindikasikan adanya fenomena immiserizing growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tidak membawa kesejahteraan melainkan menyengsarakan masyarakat. “Dalam ekonomi pembangunan, istilah ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang justru meningkatkan kemiskinan,” jelasnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak bersifat inklusif. Artinya, manfaat dari pertumbuhan tersebut tidak merata dan hanya dirasakan oleh segelintir pihak.

Arief menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi inklusif seharusnya ditandai oleh penurunan kemiskinan, peningkatan jumlah pekerja formal, dan berkurangnya ketimpangan sosial. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Dampak Pandemi dan Faktor Lain

Tidak dapat disangkal bahwa pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -2,07%, namun berhasil pulih dengan pertumbuhan 3,69% pada 2021 dan mencapai 5,31% pada 2022.

“Dalam kondisi ideal, pertumbuhan ekonomi positif seperti ini seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, dengan adanya peningkatan kemiskinan dan penurunan kelas menengah, ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pandemi,” ujar Arief.

Perbandingan dengan Periode Sebelumnya

Arief juga membandingkan situasi ini dengan capaian pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, selama periode 2014-2019, pertumbuhan ekonomi lebih inklusif, dengan penurunan ketimpangan sosial dan kemiskinan. “Pertumbuhan riil saat itu lebih tinggi dari GDP, dan semua kelas naik kecuali kelompok miskin dan rentan,” tuturnya.

Namun, tren ini tidak berlanjut pada periode 2019-2024. Menurut Arief, capaian pemerintah saat ini justru memperlihatkan pola pertumbuhan yang eksklusif, yang tidak dirasakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengatasi situasi ini, Profesor Arief menekankan pentingnya merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  1. Meningkatkan akses ke pekerjaan formal untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
  2. Mendorong pemerataan pembangunan agar manfaat ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
  3. Mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu yang hanya menguntungkan segelintir kelompok.

Dengan demikian, pemerintah dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi angka statistik, tetapi juga membawa perubahan nyata dalam kesejahteraan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *