Keluarga Korban Ponpes Al Khoziny Desak Keadilan: “Jangan Ada Lagi Nyawa yang Jadi Korban Kelalaian!
Sidoarjo, RedaksiBali.com – Tangis duka belum juga reda di keluarga besar Fauzi (48), warga Depok asal Bangkalan, Madura. Empat keponakannya menjadi korban tewas dalam tragedi ambruknya gedung tiga lantai Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Fauzi menyebut, keluarga tak akan tinggal diam dan menuntut keadilan atas dugaan kelalaian yang merenggut nyawa puluhan santri tersebut.
“Kalau memang ada kelalaian manusia dalam pembangunan, harus diproses hukum. Tidak boleh ada yang kebal,” tegas Fauzi dengan nada penuh emosi.
Empat keponakannya — MH, MS, BD, dan A — ditemukan tewas setelah tertimpa reruntuhan bangunan yang sedang digunakan untuk salat berjamaah. Sementara anak kandungnya, TM (17), berhasil selamat karena berada di saf pertama dekat imam.
Menurut Fauzi, kondisi bangunan sebelum ambruk sudah mencurigakan. Ia bahkan telah berkonsultasi dengan ahli konstruksi yang menyebut struktur gedung tidak memenuhi standar keselamatan.
“Konstruksinya tidak standar, saya sudah tanya pada yang ahli. Kalau memang benar begitu, harus ada pihak yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Lebih jauh, Fauzi juga mengungkap dugaan lain: para santri dilibatkan dalam proses pembangunan dan pengecoran. Ia menilai hal itu bisa mengarah pada dugaan eksploitasi anak.
“Santri dipekerjakan saat pembangunan. Itu bisa jadi eksploitasi anak. Aparat hukum jangan berhenti di evakuasi, tapi lanjut ke proses hukum,” katanya menegaskan.
Bagi Fauzi, tidak ada alasan sosial atau status agama yang bisa menghalangi proses hukum. “Sekalipun kiai, kalau terbukti lalai, harus diproses. Hukum tidak boleh kalah oleh status sosial.”
Polisi Janji Usut Tuntas
Kapolda Jawa Timur, Irjen Nanang Avianto, memastikan pihaknya akan melakukan penyelidikan saintifik untuk mengetahui penyebab pasti ambruknya gedung. Polisi telah mengumpulkan data, merekam kondisi lokasi, dan akan melibatkan ahli konstruksi untuk menilai kemungkinan kegagalan struktur bangunan.
“Proses hukum akan berjalan, tapi saat ini prioritas utama adalah kemanusiaan dan evakuasi korban,” kata Irjen Nanang.
Hingga akhir pencarian, 171 santri menjadi korban, dengan rincian 104 selamat dan 67 meninggal dunia, termasuk beberapa bagian tubuh (body part) yang ditemukan.
Tragedi ini menjadi pukulan berat bagi dunia pendidikan pesantren di Indonesia. Pemerintah pun berencana mengevaluasi praktik ‘nguli santri’ atau pelibatan santri dalam pembangunan gedung pesantren yang berisiko.
Dua Sisi Pandangan: Takdir vs Kelalaian
Tidak semua keluarga korban bersuara sama. Sebagian, seperti Muhammad Ma’ruf (50), memilih menerima musibah ini sebagai takdir Tuhan.
“Kami titipkan anak kami untuk belajar agama, dan jika ini takdir, kami ikhlas menerimanya,” ujar Ma’ruf.
Namun, bagi Fauzi dan beberapa keluarga lain, takdir tidak bisa dijadikan alasan untuk menutupi kelalaian manusia. Ia berharap tragedi ini menjadi pelajaran bagi pesantren di seluruh Indonesia agar lebih memperhatikan standar keselamatan bangunan.
“Kami ikhlas dengan takdir, tapi hukum harus tetap ditegakkan supaya tak ada lagi santri yang belajar di bawah bangunan berbahaya,” tegas Fauzi.
Tragedi ambruknya gedung Ponpes Al Khoziny menyisakan luka mendalam, sekaligus menjadi ujian besar bagi penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menyoroti pentingnya keselamatan konstruksi, perlindungan anak, dan keberanian masyarakat untuk menuntut keadilan tanpa pandang status sosial.