Apakah Perlu Iuran BPJS Kesehatan Naik di Tahun 2025? Ini Penjelasannya
RedaksiBali.com – Seiring dengan munculnya isu defisit yang dialami BPJS Kesehatan, muncul usulan Iuran BPJS Kesehatan Naik mulai tahun depan. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk menutupi defisit keuangan yang diproyeksikan mencapai Rp20 triliun pada tahun 2024. Menurut Ghufron, tanpa adanya kenaikan, BPJS Kesehatan berpotensi mengalami gagal bayar pada 2026.
Namun, usulan Iuran BPJS Kesehatan Naik ini memicu pro dan kontra, terutama terkait dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan potensi beban yang lebih besar bagi pekerja kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi pascapandemi.
Mengapa Iuran BPJS Kesehatan Perlu Dinaikkan?
Ghufron menyebutkan bahwa penyebab utama dari usulan kenaikan iuran adalah adanya kesenjangan antara biaya operasional dan penerimaan yang semakin membesar sejak 2023. BPJS Kesehatan telah beberapa tahun mengalami tekanan finansial, dengan rasio klaim yang mencapai 100 persen. Artinya, seluruh pendapatan dari premi peserta hampir sepenuhnya habis untuk membayar klaim, sehingga tidak ada cukup dana cadangan untuk menutupi biaya operasional dan pengembangan layanan.
Selain itu, sudah dua periode tarif iuran tidak mengalami penyesuaian, sementara idealnya, menurut Ghufron, penyesuaian iuran dilakukan setiap dua tahun sekali. Dalam rapat dengan Kementerian PPN/Bappenas, Ghufron mengusulkan agar penentuan iuran yang baru dilakukan pada pertengahan tahun 2025.
baca juga:
Dampak Kenaikan Iuran BPJS Terhadap Masyarakat
Bagi banyak peserta BPJS, khususnya dari kalangan menengah dan pekerja, kenaikan iuran ini dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli. Analis Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI), Ronny P. Sasmita, menyatakan bahwa kebijakan menaikkan iuran perlu mempertimbangkan dampaknya pada pendapatan masyarakat. Terlebih, daya beli pekerja kelas menengah telah tergerus oleh inflasi dan ketidakpastian ekonomi dalam dua tahun terakhir.
Ronny menambahkan bahwa BPJS perlu transparan mengenai kondisi keuangannya agar masyarakat memahami alasan di balik kenaikan ini. Menurutnya, kenaikan yang terlalu tinggi bisa membebani pekerja kelas menengah dan menurunkan daya beli mereka. Ia menyarankan kenaikan yang moderat, misalnya sekitar Rp10 ribu, yang tidak akan terlalu berimbas pada beban harian pekerja.
Tanggapan dan Solusi Lain yang Mungkin Diterapkan
Beberapa pengamat menilai bahwa untuk menjaga keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS Kesehatan perlu mencari alternatif pendanaan selain kenaikan iuran. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyarankan agar BPJS mempertimbangkan untuk menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau mengembangkan investasi lain sebagai tambahan pendapatan.
Faisal juga menyoroti bahwa sebagian besar peserta BPJS dari kelas menengah adalah pembayar utama iuran, sementara kelas bawah menerima subsidi dari pemerintah. Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti sekarang, membebani kelas menengah dengan kenaikan iuran justru bisa mengurangi minat mereka untuk menjadi peserta BPJS. Selain itu, ia mengingatkan agar pemerintah lebih aktif dalam menanggung beban bagi masyarakat kurang mampu daripada hanya mengandalkan pembayaran dari kelas menengah.
Standar Pelayanan dan Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)
Di samping isu iuran, BPJS Kesehatan juga berencana menerapkan standar pelayanan kesehatan yang lebih seragam di seluruh rumah sakit yang bekerja sama. Mulai pertengahan 2025, BPJS akan memperkenalkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 yang ada saat ini. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan akses kesehatan yang lebih merata bagi semua peserta BPJS, meskipun masih menimbulkan berbagai asumsi di masyarakat tentang penghapusan kelas layanan yang ada.
Mohammad Faisal menambahkan bahwa standar pelayanan baru ini harus diimbangi dengan kesiapan dari rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama di daerah yang mungkin memiliki keterbatasan fasilitas dan tenaga medis. Ia menekankan agar penerapan standar ini tidak merugikan daerah yang mungkin sulit memenuhi standar baru.
Mencari Solusi Jangka Panjang
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mungkin menjadi langkah yang diperlukan untuk menutup defisit yang dialami, namun solusi ini perlu dilakukan dengan cermat agar tidak memberatkan masyarakat. Transparansi BPJS dan inovasi dalam pendanaan dapat membantu mengurangi tekanan finansial tanpa harus sepenuhnya mengandalkan iuran dari peserta. Pemerintah diharapkan lebih berperan dalam mengatasi masalah ini, termasuk dengan memberikan bantuan subsidi yang memadai untuk kalangan bawah dan tidak sepenuhnya bergantung pada pembayaran kelas menengah.
Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, diharapkan BPJS Kesehatan bisa terus memberikan pelayanan yang optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia.