NasionalPajak

Kenaikan PPN 12 Persen: Kelas Menengah Terhimpit dari Segala Penjuru, Apa Solusinya?

RedaksiBali.com – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen memicu kekhawatiran besar, terutama terhadap dampaknya pada kelas menengah. Menurut Piter Abdullah, Ekonom Segara Institute, kebijakan ini menjadi beban baru bagi kelompok masyarakat yang selama ini sudah menghadapi tantangan berat. Dengan minimnya dukungan regulasi yang memudahkan hidup mereka, kelas menengah kini justru menjadi sasaran berbagai kebijakan yang dianggap memberatkan.

Kelas Menengah di Tengah Beban Pajak yang Terus Bertambah

Piter menyoroti fakta bahwa kelas menengah tidak mendapatkan bantuan sosial layaknya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, namun tetap dibebani pajak yang terus meningkat. Kondisi ini dapat memicu penurunan daya beli yang sudah berada dalam tren menurun.

“Kenaikan PPN pasti menyebabkan harga-harga naik. Ketika daya beli masyarakat menurun, ini akan menjadi pukulan ganda—ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga,” ungkap Piter dalam keterangannya pada Kamis, 21 November 2024.

Lebih dari itu, dampak kenaikan PPN dapat meluas. Peningkatan biaya hidup akibat pajak baru ini berpotensi memperparah stagnasi ekonomi, meningkatkan angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mempersempit lapangan kerja.

baca juga:

Menggagas Pajak Berkeadilan: Batalkan Kenaikan PPN dan Tax Amnesty, Fokus pada Pajak Kekayaan dan Pajak Karbon

Tax Amnesty Berulang: Krisis Kepercayaan Warga RI terhadap Kebijakan Pajak

20 Barang dan Jasa yang Tidak Terdampak Kenaikan PPN 12 Persen Tahun 2025

Bea Cukai Soekarno-Hatta Kenakan Pajak USD 500 pada Kardus Kosong dari Singapura

Sembilan Beban Tambahan di Tahun 2025

Tak hanya kenaikan PPN, Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengingatkan bahwa masyarakat akan menghadapi tambahan sembilan pungutan baru pada tahun 2025.

Beberapa di antaranya adalah:

  1. Pajak UMKM sebesar 0,5 persen.
  2. Asuransi kendaraan wajib (third-party liabilities).
  3. Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menjadi iuran wajib.
  4. Dana Pensiun Wajib yang masih dalam tahap wacana.
  5. Harga tiket KRL berbasis NIK yang akan menghilangkan subsidi sebelumnya.
  6. Penghapusan subsidi BBM yang diganti dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
  7. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa.
  8. Iuran BPJS Kesehatan yang diperkirakan akan naik.
  9. Cukai minuman berpemanis yang segera diberlakukan.

Bhima menggambarkan kondisi ini sebagai "tekanan dari segala sisi" yang semakin mempersempit ruang gerak kelas menengah.

Apa Solusinya?

Ekonom sepakat bahwa pemerintah perlu mencari solusi lebih bijak untuk meringankan beban masyarakat, terutama kelas menengah, yang memegang peranan penting dalam roda ekonomi. Langkah konkret yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Peninjauan ulang kenaikan PPN, terutama di tengah daya beli yang sedang melemah.
  • Fokus pada efektivitas pengelolaan anggaran, sehingga tidak selalu membebani masyarakat dengan pajak baru.
  • Pemberian insentif atau pengurangan pajak untuk kelas menengah, guna menjaga stabilitas ekonomi mereka.
  • Penundaan atau pengkajian mendalam atas 9 pungutan baru untuk memastikan kebijakan tersebut tidak memicu kontraksi ekonomi lebih lanjut.

Dampak bagi Ekonomi Nasional

Kelas menengah merupakan motor penggerak ekonomi. Bila daya beli mereka terus tertekan, roda ekonomi bisa melambat secara signifikan. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara akan penerimaan pajak dan kemampuan masyarakat membayar pajak adalah kunci penting dalam kebijakan fiskal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *